Tuhan

Tuhan
doaku

Selamat Datang

Semoga anda krasan dan menemukan apa yang anda cari

Senin, 27 Juni 2011

Desa Kecil

Desa Kecil

Astagfirulloh…………kok matahari telah di ufuk timur? Ya Allah maafkan hamba-Mu meninggalkan kewajiban subuh. Segera aku bergagas kekamar mandi, cuci muka dan...... “Le…..nanti antarkan pisang ini bu Warni” bapak mengalihkan pandanganku.
“Nggeh pak” jawabku singkat dank u lihat bapak bergegas mengambil cangkul dan sabit. Pasti mau kesawah, yah pasti kesawah. Memang bapakkau hampir setiap hari kesawah, kecuali kalau ada hajat atau sakit, sedang aku? Hanya nunggu rumah kayak nggak ada gunanya. Ah mending minum kopi dulu habis gitu rokokan…..hehehe.
Segera ku bergegas ke meja dapur mengambil gelas dan air panas. “Kopi panas disedu pada pagi ini, begitu nikmatnya, nikmat dunia bagai syurga” gumamku dalam hati.
Siulan burung-burung pagi menambah indahnya pagi ini, sepoi angin sesejuk hati berembun, sinar hangat mentari menambah lengkap sudah kedamaian jiwa. Ditambah hangatnya kopi murni buatanku sendiri, lintingan rokok karya tangan sedikit trampil walau nggak sehalus rokok pabrikan, tapi yang penting rasanya mantap! Betapa damainya pagi ini, hingga tak ku ingat lagi pertobatan tadi malam, tak ku rasa kebingungan apa yang telah aku dapatkan selama ini, apa yang telah aku berikan kepada bapakku, apa, apa dan apa, semua membuatkan aku terlena.
-------
Entah kenapa tiba-tiba aku teringat masa kecilku lagi, yah! Pohon sawo didipanku sepuluh meter dati tempat dudukku. Itu tanaman eyang kakung, yah ini menjadi saksi bisu alangkah orang dulu selalu menanam pohon yang bisa membuahkan hasil juga membuahkan kemanfaatan bagi anak cucunya. Ini bukti jiwa mewarisi kebaikan jiwa menanam budi pekerti, tidak seperti sekarang yang kebanyakan hanya menanam keindahan bunga, hanya kesenangan dan pemanjaan mata, tak jarang orang hanya memandang segi luar rumahnya, tamannya atau bahkan orangnya. Istilah pepatahnya atau adatnya “Ajining diri soko lati, ajining rogo soko busono” orang akan dihormati dan disegani atau sebaliknya jika ucapan dan pakaiaannya mencerminkan kesopanan, kerapian dan keindahan, bukan karena melihat dari hatinya. Makanya sekarang orang-orang berlomba-lomba mempercantik rumah, mempercantik diri bahkan tunggangan, eh kendaraan yang penting bagus dulu. Kok malah kesitu pikiranku?
Pohon sawo ini hampir setahun tiga kali kami memanennya, tepatnya bapakku. Walaupun tak banyak tapi cukup untuk memenuhi kebutuhan dapur sepekan dua pecan atau bahkan sebulan. Aku harus bisa seperti eyangku, menanam kebaikan untuk generasi penerus, untuk anak-anak dan cucu-cucuku kelak, aku tak boleh hanya mementingkan diri sendiri.
“Ya ampun, kok matahari semakin meninggi, aku harus nganter pisang ke bu Warni” aku segera bergegas kekamar, ganti baju dan mengantarkan pisang yang ditunjukkan bapakku tadi.
Perlahan ku susuri jalan desa sekayuh demi sekayuh menuju rumah bu Warni yang masih ada hubungan saudara dengan bapakku lain eyang atau bisa dikatakan sepupunya bapak. Tak terlalu jauh jarak yang aku tempuh, karena masih sedesa diujung barat. Desaku memang kecil, namun keasriannya tak tertandingi dengan taman kota, ya pasti taman kota hanya hijau sepuluh duapuluh meter sedang desaku? Pikiran orang bodoh sepertiku selalu ada-ada saja hehehe. Aku sering berhayal tentang desa kecil ini, kalau saja ada wisata alam seperti air terjun, danau, taman satwa, wahana permainan pecinta alam pasti akan ramai sekali dan pastinya desa ini akan maju. Namun semua hanya angan-angan saja, yang ada hanya rumah-rumah dengan halaman ditanami bunga-bunga, pohon mangga, rambutan atau bambu kuning yang katanya bisa menolak balak.
Lho ternyata sudah dekat dengan rumah bu Wardi, segera ku jagang sepedaku, ku bawa pisang ke dalam rumah “Assalamu’alaikum…..” seiring kakiku melangkah menuju dapur. Biasanya bu Warni berada didapur kalau pagi-pagi, memasak nasi, lauk atau sayur untuk suami dan anak-anaknya untuk makan siang. “Kamu ti ko, tak kira siapa” ucapnya menyambut kedatanganku.
“Nggeh bu!” jawabku singkat
“Kamu disuruh nganter pisang bapakmu?” tanyanya basa-basi.
-------
Aku segera pulang setelah mendapat uang dari bu Warni, tanpa banyak tingkah kembali aku kayuh sepedaku. Memang bapak selalu menjual pisang panenannya kepada bu Warni, mungkin itung-itung masih kerabat bapak sendiri. Bu Warni penjual pisang goreng yang sukses, dan telah memiliki beberapa anak buah. tempat jualannya dialun-alun kota.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

baiknya karya tak terbuat langsung indah, namun saran dan kritik pembaca salah satu faktor penentu keindahan sastra