Tuhan

Tuhan
doaku

Selamat Datang

Semoga anda krasan dan menemukan apa yang anda cari

Selasa, 14 Juni 2011

rumah tua

Namaku Joko, singkat, jelas, padat, dan sampai kapanpun tak akan berubah statusku walau telah keriput atau mati akan menjemput, tetap Joko. Entah kenapa budeku memanggilku dengan nama Andi atau Ndi. Mungkin bude teringat dengan anaknya yang meninggal akibat jantung lemah, ya! Anaknya namanya Andi.
Ah tak perlu membahas itu, itu tak penting. Aku tiga saudara, kakak tertua yang kini entah kemana hilang di tanah rantau, aku dan adikku terkecil yang kuliah dengan kondisi yang mengenaskan, kasihan kuliah dengan biaya sendiri. Walaupun dikampus kecil dan murah, tapi bagi kami keluarga kami yang jatuh miskin sangat berat untuk bertahan dalam kondisi seperti itu. Tapi adik tetap semangat, walau begitu ia anggap sebagai tantangan.
Aku malu, karena aku dulu kuliah dengan terus mengemis ke bapak, sampai beberapa ekor kambing yang dijadikan tabungan bapakku untuk masa tuanya harus rela dijual untuk biaya aku. Itu bukan seberapa, belum lagi aku gagal mencari pekerjaan yang sesuai dengan jurusanku kuliah, Sarjana Hukum Islam tepatnya jurusan perdata.
Tak perlu disesali, semua sudah terlanjur, mau apa lagi, sekarang aku hanya bisa membantu menyapu halaman rumah setiap pagi dan sore hari. Entah kenapa bapak tak pernah mengajakku kesawah, kekebun atau menyuruhku mencari makan untuk kambing kami yang sekarang berjumlah lima. Mungkin bapak terlalu kecewa denganku, atau mungkin aku dianggapnya anak raja, dimanjakan. Ah! Bodoh banget aku ini, ini sindiran betapa tidak bergunanya aku walau sudah berstatus sarjana. Yah, ini pasti sindiran bapakku tentang tak bergunanya aku, tentang bodohnya aku, tentang sikap yang tak pernah membuat puas bapak.
Memang bukan salahnya, tapi terlalu cerobohnya aku. Kasihan bapak, ia ditinggal ibu kealam baka, alam pergantian dunia setelah wafat. Kalau di ingat-ingat, peristiwa itu terjadi 19 tahun lalu ketika itu aku baru berumur lima tahun, dengan belum njowo aku waktu itu jika derita ibu bertarung melawan sakit kangker payudara yang sangat langka obat dan baru membumingnya penyakit itu di masyarakat juga dunia kedokteran. Ibu pergi setelah 35 hari lahinrnya adikku, Jono. Bapak sudah berusaha mati-matian mencari dokter atau dukun, hingga semua raib sapi-sapi piaraan bapakku yang hampir tersebar di sebagian desaku, juga uang toko, atau sawah yang sedikit demi sedikit dijual, demi harapan kesembuhan ibu. Namun takdir berkata lain. Ibu pergi, pergi, tinggalkan kami selamanya.
Dengat tak memiliki perasaan sedih aku lewati masa itu dengan kegembiaraan bersama teman-teman sebayaku, bermain, berkejar-kejaran, menangkap ikan, mencari jangkrik atau menaikkan layang-layang bikinan kakakku sendiri. Masa yang peduh liku-liku kesenangan dengan tanpa beban.
Terlalu lama aku melamunkan masa laluku, tak terasa matahari sudah condong kebarat, semua biarkan menjadi sejarah kehidupanku dan keluargaku. Lebih baik sekarang aku kebelakang, menyapu halaman, mandi, sholat asyar dan menunggu waktu magrib dengan kopi panas dan hisapat rokok kretek kesukaanku.
-----
Didepan serambi belakang aku menyruput kopi hangat ditemani sebatang rokok kretek lintingan sendiri, yah buatan sendiri. Habis sekarang nggak ada rokok yang murah, bukan hanya rokok, tapi semua barang terus naik seperti roket dan tak pernah turun. Banyak rakyat yang demo, protes, tapi pemerintah tak ambil tindakan yang serius, tetep aja rakyat yang menderita. Ah! Kenapa juga aku mikir seperti itu, biar saja pemerintah bertindak semaunya, rakyat menderita, seperti juga aku, menderita karena kebijakan pemerintah yang tak membuahkn hasil baik bagi rakyat. Nglantur-nglantur-nglantur…….
Sore ini udara sepoi menterlenakan aku, menyambut kicauan burung yang berkumandang menandakan malam akan segera datang, memberi isyarat ayam-ayam agar segera kembali kekandang, mengukir senyum matahari yang akan tidur di ufuk barat, menyambut kenikmatan kopi dan rokok yang ku hisap. Alangkah indahnya, alangkah nikmatnya. Namun tiba-tiba bapak berjalan didepanku memanggul karung berisi rumput yang di sabitnya dari sawah, berjalan perlahan dan langsung menurunkannya, membukanya, memberikan pada kambing kami, bukan kambing bapakku tepatnya.
Aku hanya tertunduk merenungi betapa tak bergunanya aku, betapa bodohnya aku, tapi penyesalanku tak ada artinya. Segera ku mendekati sumur dan mengambilkan air banyak-banyak untuk mandi ayahku. Setimba demi setimba ku ambil air sumur dan terkumpul di blandong yang tak terlalu besar, tapi membuatku berkeringat lagi. Rasanya percuma aku tadi mandi, percuma dan………..sepertinya tak ada artinya dibanding pengorbanan bapak selama ini.
“Sudah pak, mending sekarang mandi, sudah penuh blandongnya!” ucapku mempersilahkan bapak mandi.
“Sudah masak air atau belum?” jawab bapakku memberikan pertanyaan. Dan ia langsung mengambil handuk.
“Belum!” jawabku merasa bersalah
Aku langsung menuju ke belakang untuk ambil kayu bakar dan segera aku bawa ke dapur untuk memasak air. Kebiasaan bapak menyedu kopi dengan air yang mendidih, katanya bikin kembung kalau nggak maak benar. Sedikit, yang penting cepet matang dan ku pindah ke trimos air yang mendidih itu. Namun entah kenapa, sebelum mendidih bapak membuka panci yang ku isi air setengahnya itu dan langsung bapak memenuhinya dengan air yang masih mentah. Kebiasaan bapak selalu begitu kalau aku memasak air terlalu sedikit. Pikirannya masak sedikit, entar kalau mau minum air dingin nggak perlu masak lagi.
Aku disuruhnya menyingkir. Aku turuti saja, dan ku lanjutnya meminum kopi sisa tadi. Rasanya kasihan bapaj, di masa tuanya harus menghabiskan umur dengan penderitaan yang tak ada hentinya, tanpa istri, tanpa anak yang bisa dibanggakan, tanpa ketenangan dan kedamaian, itu sepertinya yang ku rasakan, aku tak tega. Namun susah menuruti apa yang dimaunya, aku sering merasa kewalahan, yah kewalahan. Tekat bapak yang kuat, kesederhanaan, perjuangan, jiwa peduli sosial dan kasih sayang kepada anak-anaknya yang tak lekang ditelan masa walau sudah pada dewasa.
Sebenarnya aku muak dengan sikap bapak, tapi ia tetap bapakku. Bukan bermaksud durhaka, nggak taat atau apa, tapi karena aku anak yang lebih suka bicara dari pada diam. Sikap menyuruh tapi nggak pernah dijelaskan maksudnya. Apa mungkin pikiran bapak aku sudah bukan lagi anak kecil yang semua perintahnya harus dijelaskan secara gamblang. Ah…maaf pak, anakmu terlalu egois, hingga tak dapat menuruti apa yang bapak inginkan.
-----
Allahu akbar…Allahu akbar
Suara itu, kumandangan adzan magrib, segera aku bergegas mengambil wudhu dan tanpa merasa bersalah ku tinggalkan cangkir kotor bekas kopi ku tadi. Pikirku entar saja aku bersihkan setelah makan, sekalian cuci piring.
Ku lihat bapak masih asyik duduk didepan kobaran api perebus air tadi. Aku berlalu dan segera menuju kekamar pribadiku. Menggelar sajadah dan “Allah……u akbar” niat, berlalu, surah Al-Fatihah berlalu, dalam hati beralun merdu, walau pikiranku masih terbayang bapak memasak air. Selalu saya aku sholat tak pernah bisa fokus, selalu begitu, padahal shalat mencegah dari perbuatan keji dan munkar, tapi rasanya shalatku belum sempurna, sangat kurang, kurang, kurang sempurna.
Hingga usai dan ku ucapkan istigfar memohon ampunan-Nya dan berdoa untuk kebahagiaan kami sekeluarga. Entah diterima entah tidak, yang penting aku berdoa. Rasanya percuma, sia-sia aku dulu belajar ilmu agama di pondok pesantren jika ibadahku tetap saja tak ada artinya, tak ada kesempurnaan. Bisa dikatakan asal-asalan yang penting mengerjakan, menggugurkan kewajiban, pikiranku “maklum masih muda”, wajar belum dapat beribadah dengan baik. Betapa dangkalnya pikiranku itu.
Entah apa sebabnya aku mondok empat tahun tak membuahkan hasil yang bagus, padahal aku dulu gemar ngaji kitab kuning, rajin ke makam pendiri pondok dan hampir setiap malam kau tertiduk di serambi depan makam. Mungkin karena nyaman dan tenang suasananya, nggak seperti di kamar, asrama, wisma atau serambi masjid yang dimana-mana bertebaran santri ngorok. Sekolah aku tak pernah bolos, hanya senang tidur saat pelajaran guru yang sabar. Menurutku itu nakal yang wajar-wajar saja, tapi sedikit pengalaman yang nggak dapat hilang ketika aku tidur dikelas dan ketika bangun, udah sepi, ternyata jam 4 baru bangun dari tidur. Betapa malunya aku, yah buah kemalasanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

baiknya karya tak terbuat langsung indah, namun saran dan kritik pembaca salah satu faktor penentu keindahan sastra